11. Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951)
Keadaan Sosial
Budaya
Kabinet
Natsir [1] [2] adalah
kabinet pertama yang dibentuk setelah pembubaran negara Republik Indonesia Serikat, dan kembali
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabinet ini bertugas sejak tanggal 6 September 1950hingga 20 Maret 1951.
Kabiet
ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir (Masyumi)
sebagai perdana menteri. Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai
Masyumi. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana PNI sebagai partai kedua
terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak diberi kedudukan yang
sesuai. Kabinet ini pun sesungguhnya merupakan kabinet yang kuat pormasinya di
mana tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro
Djojohadikoesoemo.
progam pad kabinet natsir :
progam pad kabinet natsir :
a.
Mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan
umum untuk Konstituante.
b.
Mencapai konsolidasi dan penyempurnaan susunan
pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang kuat dan daulat.
c.
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
menyempurnakan organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas – bekas anggota
tentara dan gerilya dalam masyarakat.
d.
Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
secepatnya.
e.
Mengembangkan dan memperkokoh kesatuan ekonomi
rakyat sebagai dasar bagi pelaksanaan ekonomi nasional yang sehat. membantu
pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha – usaha meninggikan derajat
kesehatan dan kecerdasan rakya
Kendala/
Masalah yang dihadapi :
–
Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
–
Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut
pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap
peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan
Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
2. Kabinet Sukiman (April 1951 –
Februari 1952)
dampak positif dan negatif MSA
Kabinet Sukiman-Suwirjo merupakan kabinet kedua setelah pembubaran negara Republik Indonesia Serikat. Kabinet ini
bertugas pada masa bakti 27 April 1951 hingga 3 April 1952, tetapi kabinet ini sebenarnya telah didemosionerkan pada
tanggal 23 Februari 1952.
Hal yang ada pada kabinet ini adalah pemberian
bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia
berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Keuntungan MSA :
a. Pembuatan kebijakan dapat
ditangani dengan cepatkarena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara
eksekutif dan legislatif.
b. Garis tanggung jawab dalam
pembuatan dan pelaksanaan kewajiban jelas
c. Adanya pengawasan yang kuat
dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi berhati – hati dalam
menjalankan pemerintahan.
d. Indonesia mendapat bantuan
ekonomi dan militer
Kerugian MSA :
a. Lengsernya kabinet Sukiman
b. Tidak maksimalnya pembangunan
Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet Sukiman
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Peristiwa Tanjung Morawa.
Kabinet Wilopo [1] [2] adalah
kabinet ketiga setelah pembubaran negara Republik Indonesia Serikat yang bertugas pada masa bakti 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953. Kabinet Wilopo
didemisionerkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 99 Tahun 1953
tertanggal 3 Juni 1953.
Latar
belakang
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi disebabkan pula oleh adanya ketidakpuasan
petani yang hendak dipindahkan ketempat yang lain oleh pemerintah dalam hal ini
oleh Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim, karena proses dan hasil yang
diperoleh sangat jauh berbeda dengan tanah yang telah mereka tempati
sebelumnya. Akibatnya ketidakpuasan ini mengarah pada aksi demonstrasi untuk
menggagalkan pentraktoran. Peristiwa Tanjung Morawa mendapat reaksi baik dari
pemerintah pusat, pihak oposisi, maupun masyarakat. Karena peristiwa itulah
golongan yang anti kabinet, termasuk tokoh-tokoh penganjur persatuan dari PNI,
mencela tindakan pemerintah. Akibatnya Sidik Kertapati dari SAKTI (Sarekat Tani
Indonesia) yang berhaluan kiri mengajukan mosi tidak percaya kepada cabinet dan
sebelum mosi diputuskan, kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden
Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Kronologi Peristiwa
Pada tahun 1953 Pemerintah RI Karesidenan Sumatera Timur merencanakan untuk
mencetak sawah percontohan di bekas areal perkebunan tembakau di desa
Perdamaian,Tanjung Morawa. Akan tetapi areal perkebunan itu sudah ditempati
oleh penggarap liar. Di antara mereka terdapat beberapa imigran gelap Cina.
Usaha pemerintah untuk memindahkan para penggarap dengan memberi ganti rugi dan
menyediakan lahan pertanian, dihalang-halangi oleh Barisan Tani Indonesia
(BTI), organisasi massa PKI. Oleh karena cara musyawarah gagal, maka pada
tanggal 16 Maret 1953 pemerintah terpaksa mentraktor areal tersebut dengan
dikawal oleh sepasukan polisi. Untuk menggagalkan usaha pentraktoran, BTI
mengerahkan massa yang sudah mereka pengaruhi dari berbagai tempat di sekitar
Tanjung Morawa. Mereka bertindak brutal. Polisi melepaskan tembakan peringatan
ke atas, tetapi tidak dihiraukan, bahkan mereka berusaha merebut senjata
polisi. Dalam suasana kacau, jatuh korban meninggal dan luka-luka.
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
koalisi antara PNI dan NU dan Masyumi menjadi oposisi. Apa dampaknya
kondisi politik di Indonesia
Kabinet pertama Ali
Sastroamidjojo[1], sering disebut
juga sebagai Kabinet Ali Sastroamidjojo-Wongsonegoro atau Kabinet
Ali Sastroamidjojo-Wongsonegoro-Zainul Arifin, adalah kabinet keempat setelah pembubaran negara Republik Indonesia Serikat yang memerintah pada masa bakti 30 Juli 1953 - 12 Agustus 1955, sesuai dengan
Keputusan Presiden RI Nomor 132 Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953.
Program pokok dari Kabinet
Ali Sastroamijoyo I :
§ Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
§ Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
§ Pembebasan Irian Barat secepatnya
§ Pelaksanaan politik bebas-aktif
§ Peninjauan kembali persetujuan KMB.
§ Penyelesaian pertikaian politik.
Dalam menjalankan fungsinya,
kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:
§ Merampungkan persiapan pemilu yang akan
diselenggarakan 29 September 1955
§ Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA)
pada tahun 1955
Konferensi Asia-Afrika pada
tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan
kemerdekaan bangsa-bangsa Asia- Afrika dan juga membawa akibat yang lain,
seperti :
§ Berkurangnya ketegangan dunia
§ Australia dan Amerika mulai berusaha
menghapuskan politik diskriminasi ras di negaranya.
§ Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari
negara Asia-Afrika dalam usaha penyatuan Irian Barat di PBB
Pada
masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq
Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem
Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi
antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa
yang diidentikkan dengan Baba.
Sistem
ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi – China. Sistem Ali Baba
digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai pengusaha pribumi dan Baba
digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang diarahkan pada pengusaha China.
Dengan
pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha non-pribumi diwajibkan untuk
memberikan latihan-latihan kepada pengusaha Indonesia. Sistem ekonomi ini
kemudian didukung dengan :
§ Pemerintah yang menyediakan lisensi kredit dan
lisensi bagi usaha swasta nasional
§ Pemerintah memberikan perlindungan agar
pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing
Pelaksanaan
sistem ekonomi Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha
pribumi akhirnya hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa
untuk mendapatkan kredit dari pemerintah.
Kabinet Ali
ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi
pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan
Aceh.
Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.
Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.
Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3
Maret 1956)
Kondisi rakyat
saat terjadi pemilu pertama.
Kabinet Burhanuddin Harahap merupakan kabinet koalisi yang
terdiri dari beberapa partai dan hampir merupakan kabinet Nasional, karena
jumlah partai yang tergabung dalam koalisi kabinet ini semua berjumlah 13 partai. Kabinet ini
didominasi oleh partai Masyumi walaupun
terdapat banyak partai dalam kabinet ini, tetapi seakan-akan hanya menjadi
pelengkap saja. Selain itu, ada pihak yang menyebut kabinet ini sebagai kabinet
Masyumi karena Masyum yang mendominasi kabinet ini. PNI tidak duduk
kabinet ini, tetapi PNI bersama-sama PIR Wongsonegoro,
SKI, PKI dan Progresif bertindak sebagai oposisi. Seakan-akan
kabinet ini sebagai ganti kabinet Ali-Wongso-Arifin, karena pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I sebagai partai yang besar Masyumi untuk pertama kali
tidak duduk dalam kabinet tersebut dan bertindak sebagai oposisi. Kabinet ini
bertugas pada tanggal 12 Agustus 1955 sampai 3 Maret 1956. Pada tanggal 3 Maret 1956, Perdana Menteri Burhanuddin Harahap selaku formatur kabinet menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno sehingga kabinet ini resmi dinyatakan demisioner.
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955
dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.
Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah
pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo
mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah
dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi
menjadi dua tahap, yaitu:
·
Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini
diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29
partai politik dan individu,
·
Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap
ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul
Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
6. Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4
Maret 1957)
Peristiwa Gerakan Asaat (etnis Tionghoa)
Kabinet Ali Sastroamidjojo II,[1][2] sering pula
disebut Kabinet Ali-Roem-Idham, bertugas pada periode 24 Maret 1956–14 Maret 1957. Kabinet Ali
kembali diserahi mandat pada tanggal 20 Maret 1956 yang
merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Pada tanggal 14 Maret 1957 Kabinet Ali
Sastroamidjojo II menyerahkan mandatnya kepada presiden. Akhirnya kabinet ini
jatuh dan presiden menunjuk dirinya menjadi pembentuk kabinet yang bernama kabinet Karya dan Djuanda sebagai
perdana menteri.
Kabinet ini mendapatkan
dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga dianggap sebagai
titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil melakukan pembatalan seluruh perjanjian
KMB.
Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
Gerakan Asaat :
Pada masa Kabinet Ali
Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu gerakan yang
diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian
fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan "pribumi".
Mr.Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan
Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan
keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing,
dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia
menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut
pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan
menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan
yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab
berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai "asli".
7. Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)
Mengapa terdapat
Deklarasi Djuanda dan PRRI Permesta
Kabinet Djuanda,[1] [2] disebut juga Kabinet
Karya, memerintah pada periode 9 April 1957–10 Juli 1959.
Pada masa kabinet Juanda, terjadi
pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat
dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung
Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957.
Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957.
Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta.
Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang sebelumnya hanya 9 mil.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957.
Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini. Keadaan negara memburuk pasca percobaan pembunuhan tersebut, banyak daerah yang menentang kebijakan pemerintah pusat yang kemudian berakibat pada pemberontakan PRRI/Permesta.
Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 13 mil yang sebelumnya hanya 9 mil.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi
Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat
itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi
yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar,
di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum
deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi
Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen
Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda
ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan
setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai.
Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan
pulau-pulau tersebut.
Deklarasi
Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic
State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara,
sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan
bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU
No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik
Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi
5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah
Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight
baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah
garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang,
deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam
konvensi hukum laut PBB ke-III
Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).
Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985
tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman
Wahid mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari
Nusantara.[2] Penetapan
hari ini dipertegas oleh Presiden Megawati dengan menerbitkan Keputusan
Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, sehingga tanggal 13
Desember resmi menjadi hari perayaan nasional tidak libur.
v
Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957,
menyatakan:
1.
Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai
corak tersendiri
2.
Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan
satu kesatuan
3.
Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah
keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu
tujuan :
1.
Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang
utuh dan bulat
2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI,
sesuai dengan asas negara Kepulauan
3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang
lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI
0 komentar:
Posting Komentar