Kebijakan
Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Perekonomian Pada Masa Demokrasi
Liberal
a. GERAKAN BENTENG
Situasi perekonomian
Indonesia sebelum tahun 1950 sampai dengan bulan Juni 1950, tingkat inflasi
melambung dengan cepat, nilai uang merosot tajam, demikian pula dengan kondisi
neraca pembayaran Indonesia. Keadaan ini diperparah dengan bertambah tingginya
angka pengangguran, baik di perkotaan maupun di pedesaaan.
Kebijaksanaan Benteng
sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak bukan
merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini
diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dan
menempatkan satu sector ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk
mencapai tujuan ini, berbagai lisensi impor disalurkan kepada pengusaha
nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat
dipupuk pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain,
seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri
subtitusi-impor.
Pada dasarnya kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini memiliki tujuan yang baik, namun banyaknya
masalah yang dihadapi negara dan SDM pengusaha yang kurang mengakibatkan
kebijakan ini tidak berhasil.
Kebijaksanaan Sistem
Ekonomi Gerakan Benteng adalah suatu kebikjakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pada saat tahun 1950-an atau pada saat era kabinat Natsir, dimana
kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini bertujuan membantu para
pengusaha-pengusaha muda untuk mengembangkan usahanya. Bantuan dalam kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Bernteng ini berupa pemberian modal pada para pengusaha
pribumi.
Sistem Ekonomi Gerakan
Bernteng sebagai pendirian kelompok perusahaan pribumi tidak lain dan tidak
bukan merupakan usaha menghadapi kepentingan Belanda di Indonesia. Upaya ini
diusahakan melalui pengembangan golongan wiraswasta pribumi yang tangguh dengan
menempatkan satu sektor ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor. Untuk
mencapai tujuan ini, berbagai lisenisi impor disalurkan kepada pengusaha
nasional, khususnya pengusaha pribumi. Diharapkan dengan modal yang dapat
dipupuk, pengusaha pribumi mampu melakukan diversifikasi ke bidang-bidang lain,
seperti perkebunan besar, perdagangan dalam negeri, asuransi dan indutri
subtitusi-impor.
Pertama, pada kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng bertujuan agar pemerintah memberikan modal
kepada para pengusaha pribumi serta melindunginya agar pengusaha pribumi ini
bisa menjadi berkembang dan maju.
Kedua, implementasi pokok
dari program benteng yang kelihatan adalah mendorong para importir nasional
agar dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina.
Kebijakan Sistem Ekonomi
Gerakan Benteng antara tahun 1950-1953 merupakan indonesianisasi yang
dipaksakan oleh pemerintah dan mengakibatkan gagalnya tumbuhnya investasi
kapital asing (Belanda) . Indonesianisasi bersamaan dengan industrialisasi pada
zaman tahun-tahun awal pemerintahan Sukarno mendapatkan momentum kembali meski
dalam ruang yang masih terbatas. Indonesianisasi yang penting adalah pengakuan
atas identitas etnik yang menyatu dalam perdagangan dan manufaktur dalam
usaha-usaha baru yang dibentuk.
Kajian historis terhadap
proses perubahan sosial-ekonomi pribumi dalam lintasan tiga zaman ini
mendapatkan fakta-fakta menarik yang saling terkait antara peristiwa-peristiwa
sejarah natural seperti terjadinya malaise, perang revolusi dan dekolonisasi. Tampak
bahwa secara makro, perubahan ekolnomi pribumi sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor determinan yang mendorong rakyat mengembangkan kreatifitas untuk
pemenuhan kebutuhan hidup pada masa-masa sulit.
Perekonomian
Indonesia Pasca Kemerdekaan
Dalam tahun-tahun
berikutnya memang ternyata bahwa pada tahap awal kemerdekaan, banyak energi dan
sumber daya nasional yang sebenarnya bisa disalurkan untuk pembangunan ekonomi,
justru dimobilisasi untuk menanggulangi masalah Irian Barat. Karena Indonesia
pada waktu itu sedang menghadapi berbagai masalah lainnya, termasuk masalah
ekonomi yang perlu segera di tanggulangi. Ironis memang peraturan yang baru
dikeluarkan yang pada dasarnya untuk menekan para pengusaha-pengusaha asing
agar tidak memonopoli produk import namun justru juga merugikan bagi para
pengusaha import pribumi sendiri. Dari sinilah maka muncul pemikiran dari
seorang tokoh ekonomi yang sekian lam berkelana ke luar negeri dan dipanggil
kembali ke Indonesia guna menyeleseikan masalah dan persoalan bangsa terutama
di bidang perekonomian.
Perhatian terhadap
perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Dr. Soemitro
Djoyohadikusumo, yang berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada
hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru.
Gagasan Dr. Soemitro
Djoyohadikusumo kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir (September
1950-April 1951); ketika itu ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan
program ini dikenal Sistem Ekonomi Gerakan Benteng. Yaitu, Dalam kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng ini diharapkan para pengusaha-pengusaha pribumi
mendapatkan modal yang lebih agar bisa memperluas usahanya dan bisa bersaing dengan
para penguasah-pengusaha asing.
Implementasi
nasionalisasi ekonomi dalam Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang dicanangkan dan
diumumkan pada bulan April tahun 1950 diperlihatkan oleh intensitas intervensi
negara atas lembaga ekonomi dan perundanga-undangan yang diterapkan pada tahun
1950-an. Implementasi pokok dari Sistem Ekonomi Gerakan Benteng yang kelihatan
adalah mendorong para importir nasional agar dapat bersaing dengan
pengusaha-pengusaha asing termasuk Cina.
Akibat dari kebijakan
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng maka pemeriksaan barang eksport akan diperketat,
untuk menghapus klaim atas kwalitet dan bungkusan barang-barang eksport. Karena
banyaknya para pengusaha-pengusaha pribumi yang menginginkan ikut serta dalam
kebijakan Sistem Ekonomi gerakan Benteng tersebut, pemerintah melakukan
penyaringan ketat guna mengeliminasi importer semu atau tidak mampu, misalnya
dengan melakukan modal aktif atau pasif.
Pemerintah mengadakan
seleksi terhadap pengusaha atau pedagang baru dibidang ekspor dan impor, dengan
tujuan menyehatkan perdagangan Indonesia. Ditinjau dari segi pengendalian
nasional atas perdagangan impor, kebijakan Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
berhasil karena pada pertengahann tahun 1950-an lebih dari 70 persen dari
perdagangan impor sudah dilakukan oleh pengusaha-pengusaha Indonesia. Namun
dalam waktu singkat sudah keliatan bahwa kebijakan Sistem Ekonomi gerakan
Benteng mengandung berbagai kelemahan, terutama dengan banyaknya ”importir
aktentas”, yaitu orang-orang yang tidak memanfaatkan peluang dengan baik untuk
memperoleh ketrampilan dan pengalaman dalam perdagangan impor, tetapi justru
menjual lisensi impor yang mereka peroleh kepada importir lain, kebanyakan
importir etnis Cina.
Hal ini termasuk
kegagalan untuk mengembangkan wiraswasta nasional yang tangguh, akhirnya
mendorong pemerintah Indonesia segara menghapus kebijakan Sistem Ekonomi
gerakan Benteng sekitar tahun 1953-an. Karena kebijakan Sistem Ekonomi gerakan
Benteng dianggap sebagai upaya pokok untuk pengembangan wiraswasta nasional, maka
kegagalan kebijakan ini menciptakan iklim yang condong untuk menasionalisasikan
usaha-usaha Belanda yang dianggap menghambat pengembangan wiraswsata nasional.
b. KEBIJAKAN GUNTING
SYAFRUDDIN
ü Sanering
Pada tanggal 19 Maret
1950, sanering pertama kali dikenal dengan nama "gunting
syafrudin" dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi dua secara
fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar seluruh ‘uang merah’ NICA
(Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB
(bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank
Indonesia) yang bernilai rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian.
· Gunting
Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada
jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
· Gunting
Syafrudin adalah plesetan yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi
(khususnya moneter) yang ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu,
"uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5
ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat
pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9
Agustus pukul 18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus
ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah
ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi
alias dibuang.
Guntingan kanan
dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar
setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3%
setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank.
Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI
(Oeang Republik Indonesia). Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi
ekonomi negara yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi
tinggi dan harga melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut, bermaksud
menjadi solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga barang dan
mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya diperkirakan akan
mencapai Rp 1,5 milyar.
Pada tanggal 25 Agustus
1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan Rp 1000 (dijuluki
Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito
lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus menerus
terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965, 1 US
$ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting
Syafrudin’, politik pengebirian uang yang dilakukan soekarno membuat masyarakat
menjadi panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara televisi belum
muncul dan hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia). Karena
dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru memuatnya Senin. Dikabarkan banyak orang
menjadi gila karena uang mereka nilainya hilang 50 persen. Yang paling
menyedihkan mereka yang baru saja melakukan jual beli tiba-tiba mendapati nilai
uangnya hilang separuh.
Pada tanggal 13 Desember
1965 dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi penurunan drastis dari nilai
Rp 1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru). Sukarno melakukan sanering
akibat laju inflasi tidak terkendali (650 persen). Harga-harga kebutuhan pokok
naik setiap hari sementara pendapatan per kapita hanya 80 dolar US.
Sebelum sanering, pada
bulan november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter menjadi rp 250/ liter
(naik 62,5 kali). Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh puluh lima)
dari angka rp 160/ us$ menjadi Rp 120,000 /us$.
Setelah sanering ternyata
bukan terjadi penurunan harga malah harga jadi pada naik. Pada tanggal 21
Januari 1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp 500/ liter &
harga minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr (naik 2 kali).
Sesudah itu tanpa henti
terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia
pada tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah mulai April
1998 sampai menjelang pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us $ menjadi
rp 17.200. Lalu apakah kebijakan politik pengebirian nilai fiat
money (uang kertas) ini bakal terulang lagi? Sebenarnya pengebirian
nilai fiat money ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti,
buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang
sesungguhnya adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu
tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita pegang angkanya makin
banyak tapi daya belinya makin turun.
Sanering
Rupiah adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai
uang. Hal yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli
masyarakat menurun.
Dampak dari
sanering, menimbulkan banyak kerugian karena daya beli turun drastis.
Tujuan dari sanering, mengurangi jumlah uang yang beredar akibat lonjakan
harga-harga. Katanya program sanering itu dilakukan karena ekonomi negara
itu sangat buruk yang mendekati ambruk karena hiper inflasi.
Nilai uang terhadap
barang dari sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih
kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Kondisi saat dilakukan, dalam
kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi). Masa
transisi, Sanering tidak ada masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba.
Contoh: Pada sanering, bila terjadi sanering per seribu rupiah, maka
dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli 1/1000 atau 0,001 liter bensin.
ü Redonominasi
Redenominasi
Rupiah adalah menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi
pecahan lebih sedikit dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi
nilai mata uang tersebut. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada
harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Dampak dari
Redenominasi, Pada redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap
sama. Menurut BI uang dengan nominal besar kurang efisien serta merepotkan
pembayaran. Oleh karena kebijakan tersebut akan bermanfaat besar bagi
perekonomian yang akan membuat pencatatan dan pembukuan akan lebih efisien.
Latar Belakang Kebijakan
Redenominasi, Bank Indonesia sedang mengkaji kebijakan redenominasi atas
mata uang rupiah.
Tujuan dari Redenominasi,
menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan
transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan
negara regional. Nilai uang terhadap barang dari Redenominasi, tidak
berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang
disesuaikan.
Kondisi saat dilakukannya
Redenominasi, Redenominasi dilakukans saat kondisi makro ekonomi stabil.
Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Masa transisi, Redenominasi dipersiapkan
secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak menimbulkan
gejolak di masyarakat.
c.
NASIONALISASI DE JAVASCHE BANK
Pada 16 Juli 1823, negeri
Belanda mengirimkan rancangan oktroi untuk suatu bank yang akan disebut sebagai
Der Nederlandsceh Oost-Indische Bank. Kemudian, atas bantuan Raja Willem I,
maka didirikanlah De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi milik pemerintah
Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Beberapa saham milik De Javasche Bank
adalah Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) dan
beberapa pejabat pemerintah termasuk Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies.
Setelah De Javasche Bank didirikan, Mr. C. De Hann dinyatakan sebagai Presiden
De Javasche Bank dengan J.C. Smulders sebagai sekretarisnya. De Javasche Bank
seara resmi beroperasi setelah mengalami berbagai macam struktur organisasinya
adalah pada tanggal 20 April 1830.
Pada tahun 1922, De
Javasche Bank telah mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi usaha
maupun jaringan kantornya serta hukumnya juga mengalami perubahan. Pada oktroi
ke-8, secara garis besar fungsi dan tugas De Javasche Bank berdasarkan Bankwet
1922, antara lain:
a. Mengeluarkan uang kertas.
b. Memperdagangkan logam mulia dan alat-alat
pembayaran luar negeri.
c. Memberikan kredit kepada perusahaan dan
perseorangan.
d. Memberikan uang muka kepada
perusahaan-perusahaan dengan jaminan surat-surat berharga atau barang dagangan.
e. Bertindak sebagai kasir pemerintah
dan memberikan uang muka jangka pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda sampai
sejumlah 6 juta gulden tanpa bunga.
f. Menyelenggarakan kliring
antarbank.
Barulah tanggal 17
Agustus 1946, berdiri bank sirkulasi pertama milik Pemerintah Indonesia yaitu
Bank Negara Indonesia (sekarang BNI 46) sesuai dengan Perpu No. 2 Tahun 1946.
Pasca berakhirnya Perang
Dunia Ke-II, terjadi perbaikan pasca perang di segala bidang termasuk dalam
bidang ekonomi. Di Indonesia, De Javasche Bank kembali menjadi bank sirkulasi
dan menata kembali perbankan yang ada di Indonesia. Namun yang menjadi titik
beda, pemerintahan di Indonesia saat itu terbelah menjadi dua yaitu wilayah
pemerintahan Republik Indonesia dan wilayah pemerintahan yang dikuasai NICA.
Hal ini disebabkan kembalinya Belanda ke Indonesia pasca kemenangan sekutu atas
Jepang. Hal tersebut juga berdampak dalam bidang perekonomian, di wilayah
Pemerintahan Republik Indonesia terdapat bank sentral yang bernama Bank Negara
Indonesia (BNI) dan di Pemerintahan NICA, bank sentral dipegang oleh De
Javasche Bank. De Java Bank merupakan bank sentral yang bersifat partikelir dan
berada di bawah kekuasaan modal asing.
Tujuan nasionalisasi ini
bertujuaan untuk memulihkan perekonomian bangsa Indonesai pasca gangguan dari
Benda, selain itu Pemerintah juga menganggap Belanda menyalahi aturan sehingga
Indonesia harus mengambil ketegasan.
Alasan dilakukan
Nasionalisasi De Javache Bank, antara lain :
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
1. Republik Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
Dan pada akhirnya, UU No.
11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dinyatakan berlaku
pada 1 Juli 1953, dan setiap 1 Juli diperingati sebagai hari lahirnya Bank
Indonesia.
Dengan lahirnya Bank
Indonesia, ditandakan sebagai simbol kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi dan
moneter. Setelah hampir 8 tahun Indonesia merdeka, pada akhirnya Indonesia
mempunyai bank sentralnya sendiri. Sebuah harapan dan tantangan baru yang harus
dihadapi Indonesia demi stabilnya perekonomian bangsa dengan Bank Indonesia
sebagai ujung tombaknya.
d. PEMBENTUKAN BIRO PERANCANG NEGARA
Pemerintah Letjen
Soeharto (Orde Baru) yang dijalankan sejak terbentuknya Kabinet Ampera
mempunyai tugas menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai prasyarat
pelaksanaan pembangunan nasional.
Repelita dilaksanakan
mulai tanggal 1 April 1969. Pembangunan ekonomi pada masa orde baru diarahkan
pada sector pertanian. Hal itu dikerenakan kurang lebih 55% dari produksi
nasional berasal dari sector pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia
memperoleh penghidupan dari sector pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam
Repelita, antara lain bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, rumah
rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Jangka waktu
pembangunan orde baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu program pembangunan
jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang. Program pembangunan
jangka pendek sering disebut pelita (pembangunan lima tahun), adapun program
pembangunan jangka panjang terdiri atas pembangunan jangka pendek yang saling
berkesinabungan. Masa pembangunan jangka oanjang direncanakan selama 25 tahun.
Modernitas memerlukan sarana, salah satunya dengan pengadaan sarana fisik.
Pembangunan yang dilaksanakan di realisasikan dalam system pembangunan nasional
yang dilaksanakan dengan bentuk Pembangunan Lima Tahun (PELITA).
1.
Pelita I
Pada 1 April 1969
dimulailah pelaksanaa pelita 1 yaitu pada periode 1969-1974. Pada pelita 1 ini,
orde baru menyelesaikan fase stabilitas dan rehabilitasi sehingga dapat
menciptakan keadaan yang stabil. Selama beberapa tahun, sebelum orde baru
keadaan ekonomi mengalami kemerosotan. Pada 1955-1960 laju inflasi rata-rata
25% per tahun, dalam periode 1960-1965 harga-harga meningkat dengan laju
rata-rata 226% per tahun, dan pada 1966 laju inflasi mencapai puncaknya, yaitu
650% setahun. Kemerosotan ekonomi tersebut terjadi di segala bidang akibat
kepentingan ekonomi dikorbankan demi kepentingan politik. Adapun titik berat
pelita 1 adalah pada sector pertanian dan industry yang mendukung sector
pertanian.
Adapun sasaran
pelita 1, yaitu meningkatkan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan
rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelaksanaan pelita
1 termasuk pembiayaannya selalu disetujui DPR dengan membuat undang-undang
sesuai ketentuan UUD 1945.
2.
Pelita II
Pelita 1 berakhir pada 31
Maret 1974, yang telah meletakan dasar-dasar yang kuat bagi pelaksanaan pelita
I. MPR hasil pemilu 1971 secara aklamasi memilih dan mengangkat kembali jendral
soeharto sebagai presiden RI. Selain itu, MPR hasil pemilu 1971 berhasil pula
menyusun GBHN melalui Tap MPR RI No IV/MPRS/1973. Di dalam GBHN 1973 terdapat
rumusan pelita II, yaitu :
a)
Tersedianya bahan pangan dan sandang yang cukup dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat;
b)
Tersedianya bahan-bahan bangunan perumahan terutama bagi kepentingan
masyarakat;
c)
Perbaikan dan peningkatan prasarana;
d)
Peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata;
e)
Memperluas kesempatan kerja.
Untuk melaksanakan pelita
II, presiden soeharto kemudian membentuk cabinet pembangunan II. Program kerja
cabinet pembangunan II, disebut Sapta Krida Kabinet Pembangunan II, yang
meliputi:
a)
Meningkatkan stabilitas politik;
b)
Meningkatkan stabilitas keamanan;
c)
Melanjutkan pelita 1 dan melaksanakan pelita II;
d)
Meningkatkan kesejahteraan rakyat;
e)
Melaksanakan pemilihan umum.
3.
Pelita III
Pada 31 Maret 1979,
Pelita III mulai dilaksanakan. Titik berat pembangunan pada pelita III adalah
pembangunan sector pertanian menuju swasembada pangan yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi. Sasaran pokok pelita III diarahkan pada trilogy pembangunan
dan delapan jalur pemerataan.
a) Trilogi pembangunan
mencakup:
1) Pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya menuju terwujudnya keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia;
2)
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3)
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
b) Delapan jalur pemerataan
mencakup:
1)
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan perumahan;
2)
Bagi rakyat banyak;
3)
Pemerataan kesempatan memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan;
4)
Pemerataan pembagian pendapatan;
5)
Pemerataan memperoleh kesempatan kerja;
6)
Pemerataan mempreoleh kesempatan berusaha;
7)
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khusunya bagi generasi
muda dan kaum wanita;
8)
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Indonesia;
9)
Pemerataan memperoleh keadilan.
Terpilih menjadi presiden
RI untuk kedua kalinya MPR hasil pemilu membentuk cabinet pembangunan III.
Kabinet ini dilantik secara resmi pada 31 Maret 1978. Program kerja cabinet
pembangunan III, disebut Sapta Krida Pembangunan III, yang meliputi:
1.
Menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dnegan memeratakan
hasil pembangunan;
2. Melaksanakan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi;
3. Memelihara
stabilitas keamanan yang mantap;
4. Menciptakan
aparatur Negara yang bersih dan berwibawa;
5. Membina
persatuan dan kesatuan bangsa yang kukuh dan dilandasi oleh penghayatan dan
pengamalan pancasila;
6. Melaksanakan
pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, dan rahasia;
7. Mengembangkan
politik luar negri yang bebas aktif untuk diabdikan kepada kepentingan
nasional.
4.
Pelita IV
Pelita III berakhir pada
31 Maret 1989 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan pelita IV yang dimulai 1
april 1989. Untuk ketiga kalinya jenderal soeharto terpilih dan diangkat
kembali oleh MPR hasil pemilu. Untuk melaksanakan pelita IV, presiden Soeharto
membentuk cabinet pembangunan IV. Titik berat pelita IV adalah pembangunan
sector pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dan
meningkatkan industry yang dapat menghasilkan mesin-mesin sendiri, baik untuk
mesin-mesin industry ringan maupun industry berat.
Sasaran pokok pelita IV
yaitu sebagai berikut:
a)
Bidang politik, yaitu berusaha memasyarakatkan P4 (Pedoman,Penghayatan,dan
Pengamalan Pancasila).
b)
Bidang pendidikan, menekankan pada pemerataan kesempatan belajar dan
meningkatkan mutu pendidikan.
c)
Bidang keluarga berencana (KB), menekankan pada pengendalian laju pertumbuhan
penduduk yang dapat menimbulkan masalah nasional.
5.
Pelita V
Pelita IV berakhir pada
31 Maret 1994 yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita V yang dimulai 1 April
1994. Pelita V ini merupakan pelita terakhir dari keseluruhan program
pembangunan jangka panjang pertama (PPJP 1). Pelita V merupakan masa tinggal
landas untuk memasuki program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II), yang
akan dimulai pada pelita VI pada april 1999.
Titik berat pelita V
adalah meningkatkan sector pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan prduksi hasil pertanian laiinya serta sector industri, khususnya
industry yang menghasilkan barang untuk ekspor, industry yang banyak tenaga
kerja, industri pengolahan hasil pertaian, dan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri menuju terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang antara
industry dengan pertanian, baik dari segi nilai tambah maupun dari segi
penyeraan tenaga kerja.
6.
Pelita VI
Pelita V berakhir pada 31
Maret 1999yang dilanjutkan oleh pelaksanaan pelita VI yang dimulai pada 1 April
1999. Pada akhir pelita V diharapkan akan mampu menciptakan landasan yang kukuh
untuk mengawali pelaksanaan pelita VI dan memasuki proses tinggal landas menuju
pelaksanaan program pembangunan jangka panjang kedua (PPJP II) . Titik berat
pelita VI diarahkan pada pembangunan sector-sektor ekonomi dengan keterkaitan
antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia.
Sasaran pembangunan
industry dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun VI sebagai bagian dari sasaran
bidang ekonomi sesuai amanat GBHN 1993 adalah tertata dan mantapnya industry
nasional yang mengarah pada penguatan, pendalaman, peningkatan, perluasan, dan
penyebaran industry ke seluruh wilayah Indonesia, dan makin kukuhnya struktur
industry dengan peningkatan keterkaitan antara industry hulu, industry antara,
dan industry hilir serta antara industry besar, industry menengah, industry
kecil, dan industry rakyat. Serta keterkaitan antara sector industry dengan
sector ekonomi lainnya.
Pelita VI yang diharapkan
menjadi proses lepas landas Indonesia kea rah yang lebih baik lagi, malah
menjadi gagal landas, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada
akhir tahun 1997.
Namun, pelaksanaan PPJP
II tidak berjalan lancar akibat krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia.
Inflasi yang tinggi akibat krisis ekonomi menyebabkan terjadinya gejolak social
yang mengarah pada pertentangan terhadap pemerintah orde baru.
e. SISTEM EKONOMI ALI-BABA
Pada masa pemerintahan
kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954 - Agustus 1955), menteri prekonomian
Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi baru yang dikenal dengan
sistem Ali-Baba. Artinya, bentuk kerjasama ekonomiantara pengusaha pribumi yang
diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba. Sistem ekonomi ini merupakan penggambaran ekonomi pribumi –
China. Sistem Ali Baba digambarkan dalam dua tokoh, yaitu: Ali sebagai
pengusaha pribumi dan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi yang
diarahkan pada pengusaha China.
Dengan pelaksanaan
kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan
latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar
dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi
bagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu
bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat
berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang
pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari
pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam
memperoleh bantuan kredit.
Tujuan
Tujuan dari program ini
adalah:
i. Untuk
memajukan pengusaha pribumi.Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan
ekonomi nasional.
ii. Pertumbuhan
dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
iii. Memajukan
ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non
pribumi.
Sistem
ekonomi ini kemudian didukung dengan :
· Pemerintah
yang menyediakan lisensi kredit dan lisensi bagi usaha swasta
nasional .
· Pemerintah
memberikan perlindungan agar pengusaha nasional mampu bersaing dengan pengusaha
asing.
Sistem ekonomi ini lebih
menekankan pada kebijakan indonesianisasi yang mendorog tumbuh berkembangnya
pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi. Pelaksanaan sistem ekonomi
Ali-Baba tidak berjalan sebagaimana mestinya. Para pengusaha pribumi akhirnya
hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk mendapatkan
kredit dari pemerintah.
Memasuki zaman
pemerintahan Demokrasi Terpimpin, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah.
Namun, kondisi kehidupan rakyat tetap menderita. Kondisi buruk ini diperparah
dengan tidak berjalannya distribusi bahan makanan dari pusat produksi kedaerah
konsumsi akibat pemberontakan di berbagai daerah. Sementara itu, jumlah
uang yang beredar semakin banyak karena pemerintah terus mencetak uang tanpa
kendali. Uang tersebut digunakan uang mebiayai proyek-proyek mercusuar, seperti
Games of the New Emerging forces (Ganefo) dan Conference of the New Emerging
Forces (Conefo). Akibatnya, Inflasi semakin tinggi dan mencapai hingga 300%.
Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan dengan
pemotongan nilai mata uang. Misalnya, uang Rp.500,00 dihargai Rp.50,00 dan uang
Rp.1000,00 dihargai Rp.100,00. Tindakan pemerintah tersebut ternyata tidak
menambah perbaikan kehidupan ekonomi rakyat.
Sistem Ali-Baba pada
awalnya bertujuan untuk memberikan peluang kepada para pengusaha agar bisa
memajukan perekonomian indonesia waktu itu dengan cara pemberian dana segar
pada pengusaha tersebut. sistem ini mengalami kegagalan karena: Kredit yang digunakan ternyata tidak digunakan
secara benar oleh para pengusaha pribumi (indonesia) dalam rangka mencari
keuntungan tetapi malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara
sepihak. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong
kegiatan produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi.
Kegagalan pengusaha
pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang berdampak
positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
Alasan
kegagalan Kabinet Ali
Ø Jatuh disebabkan adanya persoalan dalam TNI-AD, yakni soal
pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat oleh Menteri Pertahanan
tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan TNI-AD.
Ø Persaingan ideologi juga tampak dalam tubuh konstituante.Pada
saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan oleh pergolakan di daerah.
Ø Persaingan antara kelompok agama dan nasionalis
yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan politik
nasional tidak stabil.Hal tersebut sangat mengganggu jalannya pemerintahan baik
di tingkat pusat maupun daerah.
Ø Ingin menyatukan pengusaha pribumi & tionghoa,tapi gagal
karena pengusaha pribumi lebih konsumftif dibandingkan dengan pengusaha
tionghoa yang menghasilkan.Menjadi ladang korupsi dan kolusi.
Ø Orang-orang pribumi yang terlatih dan berpengalaman terlalu
sedikit.
Ø Kaum pribumi tidak memiliki modal kuat dan nyaris tidak mungkin
untuk bersaing.
f.
RENCANA PEMBANGUNAN LIMA TAHUN (RPLT)
Masa kerja kabinet pada
masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan
ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan
ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan
umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali
Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang
pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang
nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang
rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada
tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5
miliar rupiah.
RPLT mengalami kegagalan
disebabkan oleh Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada
akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara
merosot. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi. Adanya
ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan
kebijakan ekonominya masing-masing.